Laras Wuri D.
NIM : 13007075
Setelah ditandatanganinya Protokol Kyoto Desember 1997 oleh 84 negara dan tetap terbuka untuk ditandatangani /diaksesi sampai Maret 1999 oleh negara-negara lain di Markas Besar PBB,NewYork nampaknya belum membawa hasil atau perubahan yang signifikan bagi perubahan iklim dunia, khususnya yang berkaitan dengan pemanasan global yang semakin menjadi perhatian utama Negara-negara dunia saat ini. Bahkan akhirnya Amerika Serikat sebagai Negara yang jelas-jelas berada di urutan teratas penyumbang gas emisi terbesar (seperti : CO2, CH4, N2O, HFCS, PFCS, dan SF6) atau yang bisa disebut “penjahat kelas kakapnya” justru menarik dukungannya terhadap protokol
Keputusan ini dikecam oleh rakyat Amerika sendiri dan juga oleh pemimpin negara lain di dunia. Tidak kurang mantan Presiden Jimmy Carter, Michael Gorbachev, bahkan oleh ilmuwan Stephen Hawking dan aktor Harrison Ford yang membuat
Baru pada 16 Februari 2005 lalu, setelah melewati perjalanan yang cukup panjang Protokol Kyoto berkekuatan hukum secara internasional - dan mesti dicatat tanpa diratifikasi Amerika Serikat yang notabene merupakan kontributor emisi terbesar dunia. Masyarakat seluruh dunia menyambut gembira dan sebagian besar negara di dunia ber"pesta" menyambutnya. Namun perlu diingat, Protokol Kyoto pun baru dapat dipraktekkan di tahun-tahun mendatang sedangkan the damage had been done dan telah dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama. Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan suhu bumi seperti sedia kala. Meskipun begitu Protokol Kyoto telah menjadi semacam pengingat bagi seluruh umat manusia untuk tidak bertindak sebodoh sebelumnya untuk makin merusakkan bumi.
Namun Protokol Kyoto cenderung hanya menekankan mengatasi emisi di sektor industri tanpa terlalu memperhatikan masalah-masalah di sektor kehutanan. Padaha justru disinyalir bahwa pembakaran hutan, khususnya yang terjadi di Negara-negara tropis seperti
Oleh karena itu dunia melalui PBB berencana untuk menggelar satu konferensi yang berskala lebih besar dan bersifat menyeluruh yang bisa merumuskan berbagai kebijakan mendasar sebagai tindak lanjut atas Protokol Kyoto dan berlandaskan hokum yang lebih kuat. Maka Sebanyak 189 negara anggota PBB yang konsen terhadap lingkungan hidup sepakat mengadakan konferensi internasional mengenai perubahan iklim di Bali 3 - 14 Desember 2007.
Dipilihnya Bali sebagai tempat konferensi tersebut karena Bali dipandang memiliki konsep hidup untuk mencintai lingkungan, melalui "Tri Hita Karana" (hubungan harmonis dengan lingkungan, antarmanusia dan Tuhan), seperti yang dikatakan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup, Ir Rachmat Witoelar di Kedonganan-Kuta,
Jika mencontoh protokol
. Protokol Kyoto menargetkan pengurangan emisi global ke tingkat 5,2 persen di bawah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 1990 untuk dicapai negara-negara maju pada 2012.Karena itu dibangun mekanisme perdagangan emisi, implementasi bersama dan mekanisme pembangunan bersih (CDM). Di sini negara maju mengurangi emisi GRK dengan membangun proyek penyerap karbon di negara berkembang.
Namun, apakah langkah ini terbukti efektif dalam mengatasi perubahan iklim dan pemanasan global dampaknya semakin meluas?
Hal ini menjadi PR besar yang membayangi konferensi internasional mengenai perubahan iklim di Bali Desember mendatang. Perlu dilakukan langkah-langkah konkret dan tepat sasaran untuk menanggapi pertumbuhan dan meningkatnya dampak pemanasan global bagi setiap sektor kehidupan manusia di bumi.
Untuk skala Indonesia, penguatan tiga jalur (trilogi) pembangunan, yaitu bidang ekonomi-sosial-lingkungan, yang dijalankan dengan serentak, dianggap pakar ekonomi lingkungan Prof. Dr. Emil Salim sebagai solusi bagi Indonesia untuk menghadapi perubahan iklim global.Dengan model pembangunan seperti itu, Emil Salim memperkirakan beberapa beban pembuat pemanasan bumi yang dihasilkan oleh Indonesia dapat diminimalisasi. Seperti pada sektor ekonomi, faktor energi dan industri harus dirubah paradigmanya.
ia mengharukan adanya decoupling subsidi energi dimana subsidi energi mix dikurangi, sementara energi terbarukan diberikan porsi lebih. Dengan begitu pengembangan energi alternatif dapat lebih dikembangkan.
Sementara itu, pada dunia industri, harus diberlakukan kebijakan pemberian pajak yang lebih besar pada area penghasil karbon terbanyak. Semakin besar sebuah area industri menyumbangkan karbon bagi pemanasan bumi, semakin besar pajak yang harus dibayar. Selain itu industri juga diharapkan mengutamakan daya saing unik
Di sektor transportasi dan telekomunikasi perlu diutamakan fungsi pengelolaan, ketimbang penghasil produk. Perlu diutamakan kepentingan publik ketimbang privat, karena banyak efek pemanasan global berada pada ruang publik.
Perkembangan pembangunan bervisi pemanasan global yang diterapkan pada dunia ekonomi, juga harus dibarengi pada sektor sosial. Dimana perbaikan sumber daya manusia harus lebih dikonsentrasikan untuk mendukung adaptasi perkembangan perubahan iklim. Dengan perbaikan intelektualitas, paling tidak beban
Di lain pihak, masalah pembangunan urban harus ditekankan pada prinsip hemat ruang. Bangunan-bangunan sebaiknya dibuat lebih efisien ruang dengan memanfaatkan kondisi alam. Di faktor lingkungan, Emil Salim menyarankan agar segala sisi ekonomi lebih mempertimbangkan nilai lingkungan yang dikeluarkan. Seperti pada pemanfaatan tata guna lahan, harus lebih mempertimbangkan pengurangan kontribusi gas karbon diangkasa.
Terakhir, masalah hutan. Inilah yang mesti menjadi perhatian utama bagi masyarakat dunia. Menurut Menhut M.S.Ka’ban, perubahan iklim yang dikontribusi oleh kehutanan sangat signifikan terutama karena isu degradasi yang terjadi. Luas kawasan hutan
Secara fakta memang penurunan kualitas hutan ini terjadi antara tahun 1998 hingga 2004. Rinciannya, hutan lindung yang mengalami degradasi 7,3 juta hektar di seluruh
Maka sangat diperlukan sebuah kesepakatan yang lebih memihak pada pelestarian dan konservasi hutan di tiap-tiap belahan dunia, terutama wilayah hutan hujan tropis seperti