Minggu, 30 September 2007

Konferensi Perubahan Iklim di Bali : Aksi atau Hanya Sekadar Presepsi?

Laras Wuri D.

NIM : 13007075

Setelah ditandatanganinya Protokol Kyoto Desember 1997 oleh 84 negara dan tetap terbuka untuk ditandatangani /diaksesi sampai Maret 1999 oleh negara-negara lain di Markas Besar PBB,NewYork nampaknya belum membawa hasil atau perubahan yang signifikan bagi perubahan iklim dunia, khususnya yang berkaitan dengan pemanasan global yang semakin menjadi perhatian utama Negara-negara dunia saat ini. Bahkan akhirnya Amerika Serikat sebagai Negara yang jelas-jelas berada di urutan teratas penyumbang gas emisi terbesar (seperti : CO2, CH4, N2O, HFCS, PFCS, dan SF6) atau yang bisa disebut “penjahat kelas kakapnya” justru menarik dukungannya terhadap protokol Kyoto tahun 2001.

Keputusan ini dikecam oleh rakyat Amerika sendiri dan juga oleh pemimpin negara lain di dunia. Tidak kurang mantan Presiden Jimmy Carter, Michael Gorbachev, bahkan oleh ilmuwan Stephen Hawking dan aktor Harrison Ford yang membuat surat terbuka di majalah Time edisi April 2001. Alasan yang dipakai pemerintahan Bush adalah pengurangan emisi akan mengguncang perekonomian mereka.

Baru pada 16 Februari 2005 lalu, setelah melewati perjalanan yang cukup panjang Protokol Kyoto berkekuatan hukum secara internasional - dan mesti dicatat tanpa diratifikasi Amerika Serikat yang notabene merupakan kontributor emisi terbesar dunia. Masyarakat seluruh dunia menyambut gembira dan sebagian besar negara di dunia ber"pesta" menyambutnya. Namun perlu diingat, Protokol Kyoto pun baru dapat dipraktekkan di tahun-tahun mendatang sedangkan the damage had been done dan telah dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama. Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan suhu bumi seperti sedia kala. Meskipun begitu Protokol Kyoto telah menjadi semacam pengingat bagi seluruh umat manusia untuk tidak bertindak sebodoh sebelumnya untuk makin merusakkan bumi.

Namun Protokol Kyoto cenderung hanya menekankan mengatasi emisi di sektor industri tanpa terlalu memperhatikan masalah-masalah di sektor kehutanan. Padaha justru disinyalir bahwa pembakaran hutan, khususnya yang terjadi di Negara-negara tropis seperti Indonesia, menjadi penyebab utama meningkatnya emisi gas karbon dioksida di atmosfer. Pakar Lingkungan Prof Dr Emil Salim mengatakan bahwa akibat kebakaran hutan ini Indonesia melepas emisi sampai 2.563 MtCO2e, sementara dari energinya Indonesia hanya membuang emisi 275 MtCO2e, dari pertanian sebesar 141 dan dari limbahnya 35 MtCO2e, sehingga total emisi 3.014 MtCO2e dan merupakan yang terbesar ketiga di dunia setelah China dan Amerika Serikat.

Oleh karena itu dunia melalui PBB berencana untuk menggelar satu konferensi yang berskala lebih besar dan bersifat menyeluruh yang bisa merumuskan berbagai kebijakan mendasar sebagai tindak lanjut atas Protokol Kyoto dan berlandaskan hokum yang lebih kuat. Maka Sebanyak 189 negara anggota PBB yang konsen terhadap lingkungan hidup sepakat mengadakan konferensi internasional mengenai perubahan iklim di Bali 3 - 14 Desember 2007.

Dipilihnya Bali sebagai tempat konferensi tersebut karena Bali dipandang memiliki konsep hidup untuk mencintai lingkungan, melalui "Tri Hita Karana" (hubungan harmonis dengan lingkungan, antarmanusia dan Tuhan), seperti yang dikatakan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup, Ir Rachmat Witoelar di Kedonganan-Kuta, Bali.

Indonesia telah ditetapkan oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yakni UNFCC (United Nation Frame Work Convention on Climate Change) untuk menjadi tuan rumah konferensi dunia yang membahas perubahan iklim. Ini yang agak khusus, dan menjadi amanah besar, karena data-data ilmiah yang muktahir, kita lihat dalam satu tahun ini, keadaan dunia akan menjadi sangat kritis. Rachmat menambahkan bahwa ini adalah konferensi lingkungan hidup yang khusus membahas perubahan cuaca, dan konferensi ini seperti dilansir media luar, akan menentukan nasib dunia.

Jika mencontoh protokol Kyoto, ada tiga mekanisme yang diatur di Protokol Kyoto ini yaitu berupa joint implementation; Clean Development Mechanism; dan Emission Trading. Joint Implementation (implementasi bersama) adalah kerja sama antar negara maju untuk mengurangi emisi GRK mereka. Clean Development Mechanisme (Mekanisme Penmbangunan Bersih) adalah win-win solution antara negara maju dan negara berkembang, di mana negara maju berinvestasi di negara berkembang dalam proyek yang dapat megurangi emisi GRK dengan imbalan sertifikat pengurangan emisi (CER) bagi negara maju tersebut. Emission Trading (Perdagangan emisi) adalah perdangan emisi antar negara maju

. Protokol Kyoto menargetkan pengurangan emisi global ke tingkat 5,2 persen di bawah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 1990 untuk dicapai negara-negara maju pada 2012.Karena itu dibangun mekanisme perdagangan emisi, implementasi bersama dan mekanisme pembangunan bersih (CDM). Di sini negara maju mengurangi emisi GRK dengan membangun proyek penyerap karbon di negara berkembang.

Namun, apakah langkah ini terbukti efektif dalam mengatasi perubahan iklim dan pemanasan global dampaknya semakin meluas?

Hal ini menjadi PR besar yang membayangi konferensi internasional mengenai perubahan iklim di Bali Desember mendatang. Perlu dilakukan langkah-langkah konkret dan tepat sasaran untuk menanggapi pertumbuhan dan meningkatnya dampak pemanasan global bagi setiap sektor kehidupan manusia di bumi.

Untuk skala Indonesia, penguatan tiga jalur (trilogi) pembangunan, yaitu bidang ekonomi-sosial-lingkungan, yang dijalankan dengan serentak, dianggap pakar ekonomi lingkungan Prof. Dr. Emil Salim sebagai solusi bagi Indonesia untuk menghadapi perubahan iklim global.Dengan model pembangunan seperti itu, Emil Salim memperkirakan beberapa beban pembuat pemanasan bumi yang dihasilkan oleh Indonesia dapat diminimalisasi. Seperti pada sektor ekonomi, faktor energi dan industri harus dirubah paradigmanya.
ia mengharukan adanya decoupling subsidi energi dimana subsidi energi mix dikurangi, sementara energi terbarukan diberikan porsi lebih. Dengan begitu pengembangan energi alternatif dapat lebih dikembangkan.

Sementara itu, pada dunia industri, harus diberlakukan kebijakan pemberian pajak yang lebih besar pada area penghasil karbon terbanyak. Semakin besar sebuah area industri menyumbangkan karbon bagi pemanasan bumi, semakin besar pajak yang harus dibayar. Selain itu industri juga diharapkan mengutamakan daya saing unik Indonesia dengan cara menaikan nilai tambah alam hayati melalui pengembangan sains dan teknologi. Seperti kita tahu, satu pohon paling-paling hanya bernilai beberapa juta rupiah bila ditebang dan dimanfaatkan kayunya. Bila dikembangkan pada teknologi biomolekuler, satu pohon bisa menghasilkan berjuta-juta molekul biologi yang dapat dimanfaatkan untuk banyak bidang dan bernilai teramat tinggi.

Di sektor transportasi dan telekomunikasi perlu diutamakan fungsi pengelolaan, ketimbang penghasil produk. Perlu diutamakan kepentingan publik ketimbang privat, karena banyak efek pemanasan global berada pada ruang publik.

Perkembangan pembangunan bervisi pemanasan global yang diterapkan pada dunia ekonomi, juga harus dibarengi pada sektor sosial. Dimana perbaikan sumber daya manusia harus lebih dikonsentrasikan untuk mendukung adaptasi perkembangan perubahan iklim. Dengan perbaikan intelektualitas, paling tidak beban Indonesia sebanyak 470 emisi gas rumah kaca (GRK) per kapita dapat ditekan. Di Jepang sendiri kini beban emisi GRK perkapita telah turun hingga 92 emisi GRK per kapita saja.

Di lain pihak, masalah pembangunan urban harus ditekankan pada prinsip hemat ruang. Bangunan-bangunan sebaiknya dibuat lebih efisien ruang dengan memanfaatkan kondisi alam. Di faktor lingkungan, Emil Salim menyarankan agar segala sisi ekonomi lebih mempertimbangkan nilai lingkungan yang dikeluarkan. Seperti pada pemanfaatan tata guna lahan, harus lebih mempertimbangkan pengurangan kontribusi gas karbon diangkasa.

Terakhir, masalah hutan. Inilah yang mesti menjadi perhatian utama bagi masyarakat dunia. Menurut Menhut M.S.Ka’ban, perubahan iklim yang dikontribusi oleh kehutanan sangat signifikan terutama karena isu degradasi yang terjadi. Luas kawasan hutan Indonesia 120,3 juta hektar, saat ini telah mengalami degradasi total luasnya sekitar 59 juta hektar.

Secara fakta memang penurunan kualitas hutan ini terjadi antara tahun 1998 hingga 2004. Rinciannya, hutan lindung yang mengalami degradasi 7,3 juta hektar di seluruh Indonesia baik Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Kawasan konservasi 5,8 juta hektar, sedangkan kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas sekitar 30 juta hektar. Lalu ada 15 juta hektar di kawasan hutan produksi

Maka sangat diperlukan sebuah kesepakatan yang lebih memihak pada pelestarian dan konservasi hutan di tiap-tiap belahan dunia, terutama wilayah hutan hujan tropis seperti Indonesia dan Brazil. Para petinggi negara yang nantinya akan menghadiri konferensi mengenai perubahan iklim di Bali dituntut untuk merancang berbagai pilihan jalur perlindungan terhadap hutan tanpa mengurangi nilai manfaat hutan itu sendiri. Kita tidak perlu bicara jauh-jauh, cukup membuat prosedur baku bagi para pengembang hutan di seluruh dunia agar bisa lebih selektif dan peduli dengan kelangsungan hidup hutan yang menjadi komoditi mereka. Hukuman yang tegas dan adanya batasan waktu pencapaian target bagi pemerintah masing-masing negara agar bisa menangkap dan mencabut hak izin pengelolaan hutan bagi pengusaha yang melanggar undang-undang tentang pemanfaatan hutan. Lebih jauh, konferensi di Bali dapat membuat suatu undang –undang internasional yang mengatur semua aspek mulai dari perlindungan, pemanfaatan, dan konservasi hutan. Ini akan menjadi fondasi yang kuat untuk tiap negara ke depannya untuk bersama-sama memperbaiki kondisi iklim bumi menjadi lebih bersahabat bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi.









Kebijakan Yang Harus Diambil Dalam Convention on Climate Change Ke-13 di Bali

Herdadi S.P.
13007071


Pemanasan global saat ini telah menjadi masalah yang mendunia. Efeknya sudah dirasakan secara global. Beberapa efeknya antara lain adalah suhu udara yang semakin meningkat, naiknya tinggi permukaan air laut, dan badai yang sering kita alami. Apabila ini dibiarkan terus-menerus, tentu saja nasib dunia akan terancam bahaya. Beberapa negara maju sudah menawarkan ide-ide mereka untuk mencegah pemanasan global terus berlanjut. Namun sayang, ide itu seakan-akan memojokkan negara berkembang yang dituduh sebagai perusak hutan. Padahal, justru mereka-lah penyumbang terbesar dari pemanasan global ini.
Penyebab utama dari pemanasan global adalah emisi karbon. Penyebab emisi karbon ini adalah kelistrikan, transportasi, industri, dan kependudukan. Kita pasti setuju bahwa 4 faktor tadi lebih banyak disumbang oleh negara maju daripada negara berkembang. Kerusakan hutan sekalipun tidak menyebabkan emisi karbon, walaupun hutan memiliki peran utama sebagai penyerap karbon. Jadi, apakah negara berkembang patut dituding sebagai penyebab utama? Untuk menjawab masalah global waming, dunia seakan mulai sadar bahwa mereka tidak patut saling menyalahkan, tapi mereka harus berkolaborasi. Untuk itulah diadakannya Convention on Climate Change Ke-13 di Bali, 3-14 Desember 2007 mendatang.
Menurut saya ada beberapa kesepakatan yang harus diambil dalam konferensi itu. Yang pertama mengenai hutan sebagai penyelamat bumi dari global warming. Harus dibuat kesepakatan dunia untuk membentuk sebuah badan internasional lengkap dengan peradilannya untuk menindak tegas para perusak hutan di dunia. Badan internasional ini harus memiliki kedudukan setara PBB agar disegani oleh negara-negara dunia dan wewenangnya berlaku di seluruh dunia.
Yang kedua, dibuat kesepakatan untuk menaikkan standar emisi kendaraan bermotor di seluruh dunia. Dengan menaikkan standar emisi ini, diharapkan emisi karbon di dunia akan menurun.
Yang ketiga, dunia harus membentuk sebuah badan yang bertugas untuk mengadakan riset tentang mesin berbahan bakar non-fosil. Apabila sudah ditemukan mesin dengan bahan bakar non-fosil yang memiliki efisiensi tinggi dan sudah dipakai di seluruh dunia, tentu saja emisi karbon dunia akan berkurang drastis.
Yang keempat, dibuat kesepakatan batas waktu terakhir terhadap penggunaan bahan bakar fosil. Dengan ini tentu saja dunia akan semakin terpacu untuk melakukan riset besar-besaran.
Untuk mengatasi global warming sepertinya tidak cukup mengandalkan kesepakatan dunia, tapi diri kita sendiri sebagai calon chemical engineer harus memiliki “kesepakatan-kesepakatan” di dalam diri kita. Yang paling penting adalah kita harus mengembangkan teknologi yang berorientasi pada lingkungan. Uang kita letakkan di bawah lingkungan. Dengan kesadaran seperti ini, saya yakin akan banyak permasalahan lingkungan dapat kita atasi.

pengurangan deforestasi

Elizabeth Valentin
1300047

Dewasa ini, global warming telah menjadi isu hangat yang terus diperbincangkan oleh banyak pihak. Bagaikan bom waktu, dampak dari pemanasan global ini dapat memburuk kapan saja. Karena itu negara-negara di dunia mulai menindak lanjuti hal tersebut. Salah satunya dengan mengadakan pertemuan COP-13 yang akan dilaksanakan di Bali pada tanggal 3-14 Desember 2007.
Dalam pertemuan ini, salah satu agenda yang akan dibicarakan adalah pengurangan deforestasi (perusakan hutan). Pelestarian hutan adalah salah satu upaya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca karena hutan sebagai penghasil O2 dan penyerap CO2. Namun, lenyapnya hutan karena digunakan untuk lahan pertanian, pemukiman penduduk, pemukiman industri, dan ilegal logging mengancam kehidupan manusia. Indonesia, contohnya. Pulau Jawa telah banyak kehilangan hutannya sejak tahun 1900.
Menurut saya, untuk mengurangi deforestasi yang berlebihan, diperlukan kesadaran setiap manusia. Namun, pemerintah juga tidak bisa tinggal diam. Reboisasi adalah agenda wajib yang harus dilakukan. Contoh konkret dari hal ini adalah tindakan Perum Perhutani yang menanami 121.000 hektar dan tidak menebang melebihi 6.000 hektar per tahunnya. Jika hal ini dapat terus di jalankan, hutan-hutan akan terbebas dari tanah kosong.
Diperlukan juga peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya hutan bagi kehidupan. Hal ini dapat diperluaskan dengan bantuan LSM dan lembaga non-pemerintahan untuk memberi masyarakat pengetahuan tentang lingkungan dan bagaimana melestarikannya.
Bagi pengusaha dan penebang kayu, sebaiknya mereka diberikan izin penebangan namun dilakukan pembatasan sehingga tidak terjadi penebangan pohon yang berlebihan.
Semua hal itu harus diatur dalam hukum-hukum yang tegas sehingga penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dapat dicegah dan hukuman yang jelas bagi para pelanggar hukum.

Keputusan yang Sebaiknya Diambil pada Global Warming Meeting Mendatang

Mohammad Ferandy 13007086

Pemanasan global merupakan isu dunia terkini yang menjadi masalah besar umat manusia. Masalah ini harus segera diatasi atau sejarah kita akan segera berakhir.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, isu pemanasan global atau perubahan iklim selalu menjadi salah satu agenda
yang dibahas dalam pertemuan negara-negara di dunia baik di tingkat negara maju, Eropa maupun Asia.
Dalam pertemuan APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) di Sidney Australia yang baru saja berlalu, pemanasan
global (global warming) masih menjadi salah satu agenda yang dibicarakan. Dua negara maju yaitu Amerika Serikat
(USA) dan Australia adalah yang paling ngotot memasukkan agenda pemanasan global dalam pertemuan APEC,
walaupun banyak negara lain menganggap isu tersebut tidak relevan dibahas di tingkat Asia Pacific (dalam pertemuan
tersebut). Alasannya, isu pemanasan global lebih cocok dibahas di tingkat PBB (perserikatan bangsa-bangsa). Namun
toh pembahasan terhadap pemanasan global tetap dilakukan.
Sampai kini, USA dan Australia termasuk ke dalam negara yang belum meratifikasi protokol Kyoto yang bertujuan untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca (green house gases, yang terdiri dari CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs dan SF6)
penyebab pemanasan global, sebesar 5,2 persen di bawah level 1990, antara 2008-2012.
Begitulah, hanya sebagian negara saja yang bersedia untuk berkorban demi bumi dengan cara menurunkan emisi gas rumah kaca. Semua itu demi kepentingan politik dan ekonomi sebagian pihak.
Oleh karena itu, sebaiknya yang diputuskan pada global meeting mendatang adalah sanksi yang harus kita berikan kepada pihak-pihak yang tidak meratifikasi protokol Kyoto dan tidak mau menurunkan emisi gas rumah kaca. padahal solusi inilah solusi terbaik. Untuk kepentingan kita bersama. Untuk masa depan umat manusia yang lebih baik. Semoga!!

Global Warming dan Solusinya

NAMA: Brian Lee

NIM : 13007006

Global Warming dan Solusinya

Global warming adalah peningkatan suhu secara global dan ditandai oleh pergantian cuaca secara ekstrem, kenaikan ketinggian permukaan air laut, beberapa spesies punah, dan makin banyaknya peningkatan berbagai penyakit.

Global Warming disebabkan oleh konsentrasi CO2 yang terlalu banyak di udara. CO2 ini membentuk lapisan di udara atau atmosfer. Ini disebut greenhouse effect. Uap air adalah komponen terbanyak dari greenhouse effect, tetapi CO2 adalah yang paling berperan untuk menentukan green house effect. Sinar ultraviolet dan energi panas matahari yang masuk ke bumi akan sulit untuk keluar lagi. Akibatnya panas sinar matahari terperangkap dalam bumi atau tak bisa keluar karena lapisan ini menahannya. Akibatnya suhu bumi meningkat.

Konsentrasi CO2 di muka bumi ini meningkat drastis semenjak adanya revolusi industri. Revolusi Industri memberikan produktivitas pada manusia, tetapi juga membawa bencana pada manusia.

Solusi untuk mengatasi Global Warming belum ada. Global warming memang harus terjadi karena menurut hukum termodinamika III mengenai entropi absolute, bumi terus menerus menerima panas sehingga mengakibatkan bumi akan terus menyimpan panas tersebut. Akibatnya suhu bumi akan meningkat terus. Jadi, global warming tidak dapat dicegah.

Meskipun tidak dapat dicegah, global warming dapat diperlambat. Proses global warming dapat diperlambat dengan jalan mengurangi konsentrasi CO2. Beberapa tips mengatasi (memperlambat) global warming, seperti mengembangkan sikap hemat energi dan juga sekaligus teknologinya yang hemat energi, menggunakan suatu alat yang mengeluarkan emisi sedikit CO2, serta perbanyak hutan.

Sikap hemat energi dapat mengikis penggunaan energi yang tidak diperlukan. Salah satu teknologi yang hemat energi adalah lampu hemat energi. Pakailah lampu hemat energi sebisa mungkin. Selain itu, tidak menggunakan kendaraan bila tidak dalam keadaan mendesak (hemat bahan bakar karena bahan bakar paling banyak mengeluarkan CO2). Salah satu bahan bakar yang tidak mengeluarkan CO2 adalah hidrogen, karena hasil pembakaran hidrogen adalah air sehingga ramah lingkungan.

1 lagi cara memperlambat global warming adalah dengan memperbanyak hutan dan memperbaiki hutan yang sudah gundul. Hutan adalah kumpulan pohon dan pohon adalah kumpulan daun. Daun menggunakan sinar inframerah dan CO2 untuk fotosintesis menghasilkan O2, suatu gas yang diperlukan makhluk hidup. Ini berarti daun mengurangi konsentrasi gas CO2 yang berarti mengurangi konsentrasi CO2 dalam udara yang berarti memperlambat global warming.

Sabtu, 29 September 2007

Solusi Untuk Mengurangi Pemanasan Global

DENLI

13007039

Solusi Untuk Mengurangi Pemanasan Global

Pemanasan global telah menjadi permasalahan yang menjadi sorotan utama umat manusia. Fenomena ini bukan lain diakibatkan oleh perbuatan manusia sendiri dan dampaknya diderita oleh manusia itu juga.

Berbagai usaha orang-orang yang peduli akan kelangsungan hidup telah dilakukan, namun sampai saat ini belum ada hasil yang signifikan. Banyak hambatan menjadi penghalang dalam mengatasi pemanasan global. Bahkan yang jadi masalah, negara-negara maju yang seharusnya menjadi pelopor dalam mengatasi pemanasan global malah menjadi sumber utama pemanasan itu. Hal ini berkaitan erat dengan proses industri yang menjadi penyebab utama pemanasan global.

Untuk mengatasi pemanasan global diperlukan usaha yang sangat keras karena hampir mustahil untuk diselesaikan saat ini. Pemanasan global memang sulit diatasi, namun kita bisa mengurangi efeknya. Jika ditinjau dari pemansan global, sistem dibumi dapat dikelompokkan menjadi 2 daerah,yaitu daerah produksi panas dan daerah penetral panas. Daerah utama pemroduksi panas adalah negara-negara besar dan matang, jadi cukup sulit untuk mendesak mereka menghentikan aktifitas, terutama industri, yang menjadi penghasil panas bumi berlabih.

Daerah yang dapat menjadi penetral panas adalah daerah di khatulistiwa atau daerah yang masih banyak memiliki hutan hujan tropis. Ada tiga daerah utama di bumi yang dapat dikatakan sebagai “paru-paru dunia” karena potensinya untuk mengatur sirkulasi air dan udara, pengatur suhu bumi, penentu iklim, dan me-refresh bumi secara periodik. Ketiga daerah utama paru-paru bumi itu adalah Indonesia, Brazil, dan Afrika Tengah. Indonesia lebih berperan sebagai paru-paru dunia dibandingkan dua Negara lainnya karena memiliki kondisi laut yang luas dan dangkal serta sinar matahari berlimpah, sehingga konvensi air lebih aktif.

Secara logika kesuluruhan tubuh akan rusak jika paru-parunya juga rusak. Begitu juga kasus Indonesia sebagai paru-paru dunia, kondisinya yang memprihatinkan membuat fungsinya sebagai paru-paru dunia tidak bekerja optimal. Daerah yang diharapkan bisa menjadi paru-paru dunia justru menjadi penyumbang emisi global sebanyak 25%. Persentasi sebanyak ini adalah emisi global yang dihasilkan dari pembakaran hutan yang marak terjadi di daerah-daerah yang memiliki hutan hujan tropis. Sedangkan 75% emisi global yang lain berasal dari emisi yang ditimbulkan industri, pertambangan dan energi, serta limbah rumah tangga.

Untuk mengurangi efek pemanasan global, secepat mungkin kita harus memperbaiki dan menjaga paru-paru bumi itu. Harus ada hukum yang jelas, tegas, dan digunakan dalam menjerat oknum-oknum yang melakukan pengrusakan terhadap paru-paru bumi, seperti penebangan liar, pembakaran, dan pemusnahan hutan. Selain itu kita harus menciptaan suatu sistem preventif yang dapat mencegah pengrusakan hutan yang disebabkan oleh fenomena alam, seperti banjir, gempa, longsor, atau terbakarnya hutan secara natural.

Jika paru-paru bumi sudah bekerja sebagaimana mestinya, maka secara berangsur panas bumi dapat berkurang karena adanya daur sirkulasi, baik air maupun udara. Pemanasan global memang tidak teratasi, namun sedapat mungkin kita mengupayakan agar pemanasan itu dapat berkurang dan tidak semakin parah. Ini semua untuk kelangsungan hidup kita bersama.

Kebijakan Pengambilan Keputusan dalam COP ke-13

Anthony
13007060

Kebijakan Pengambilan Keputusan dalam COP ke-13


COP ke-13 UNFCCC atau disebut juga Conference of Parties ke-13 United Nations Framework Convention on Climate Change adalah perwujudan dari kesadaran dunia akan perlunya kolaborasi dalam menghadapi peningkatan emisi karbon di dunia. Konferensi ini akan diadakan di Denpasar,Bali tangal 3-14 Desember 2007 dan akan diikuti oleh lebih dari 180 negara-negara di dunia.
Diadakannya COP ke-13 di Bali ini adalah untuk menindaklanjuti Protokol Kyoto yang diadakan tahun1997, yaitu disepakati bahwa seluruh negara ANNEX I wajib menurunkan emisi GRK mereka rata-rata sebesar 5.2% dari tingkat emisi tersebut di tahun 1990. Tahun 1990 ditetapkan dalam Protokol Kyoto sebagai acuan dasar (baseline) untuk menghitung tingkat emisi GRK(Gas Rumah Kaca). Bagi negara NON ANNEX I(contoh: Indonesia), Protokol Kyoto tidak mewajibkan penurunan emisi GRK, tetapi mekanisme partisipasi untuk penurunan emisi tersebut terdapat di dalamnya, jadi negara-negara yang tidak ikut menandatangani juga diharapkan untuk membantu usaha penurunan emisi GRK.
Protokol Kyoto mempunyai beberapa hasil yang bertujuan untuk mengurangi kadar GRK. Hasil-hasilnya yaitu: 1. Joint Implementation (JI), mekanisme yang memungkinkan negara-negara maju untuk membangun proyek bersama yang dapat menghasilkan kredit penurunan atau penyerapan emisi GRK. 2. Emission Trading (ET), mekanisme yang memungkinkan sebuah negara maju untuk menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara maju lainnya..3. Clean Development Mechanism (CDM), mekanisme yang memungkinkan negara penghasil emisi GRK terbesar berkewajiban memberikan kompensasi atas upata pentelamatan hutan di Negara berkembang.
Akan tetapi, hasil dari Protokol Kyoto ini ternyata mempunyai beberapa kekurangan. Telah disebutkan di atas bahwa jika suatu negara dapat mempertahankan luas hutannya dalam selang waktu tertentu, maka pemerintah negara tersebut akan mendapatkan sejumlah uang dari negara maju. Disinilah letak permasalahannya, yaitu bahwa yang mendapatkan uang adalah pemerintah, bukan pihak penebang kayu. Jadi pihak penebang hutan akan terus menebang hutan demi mendapatkan uang. Selain itu, permasalah lain yang timbul adalah anggapan bahwa negara-negara maju dapat seenaknya menebang hutan ataupun membuang emisi GRK sebanyak-banyakya asalkan membayar uang kepada negara berkembang.
Menurut saya, konferensi yang akan diadakan di Bali sebaiknya memperbaiki hasil dari Protokol Kyoto. Yaitu bahwa uang hasil CDM diberikan bukan kepada pemerintah saja, melainkan kepada pihak-pihak yang melestarikan keadaan hutan di Indonesia sehingga pihak penebang hutan tidak kehilangan nafkah, malah mereka diharapkan ikut dalam usaha pelestarian hutan sehingga memperoleh keuntungan yang lebih besar. Selain itu keputusan dari COP juga diharapkan memberikan perbaikan bahwa yang harus melestarikan hutan bukan hanya negara-negara berkembang, tetapi negara-negara maju pun diwajibkan untuk ikut dalam upaya pelestarian hutan.

Selasa, 25 September 2007

Global Warming dan Dampaknya pada Kehidupan


Lukito Jaya

13007043

TK'O7


Global Warming dan Dampaknya pada Kehidupan

Semakin berkembangnya globalisasi dalam berbagai segi kehidupan tentunya tak dapat ditahan lagi. Dari segi ekonomi misalnya, berbagai negara besar bersaing ketat untuk menanamkan investasinya di pasar negara-negara miskin dan negara berkembang. Namun tanpa disadari, laju kapitalisme globalisasi yang tak terbatas ini bukannya mengurangi kemiskinan dan peminggiran sosial, sebaliknya membuat keadaan lebih buruk.

Satu ajaran neo liberalisme adalah bahwa negara-negara miskin sebaiknya berkonsentrasi melakukan produksi untuk diekspor agar memperoleh devisa, dan mengimpor sebagian komoditas lainnya. Penekanan ini memberikan dampak pada kehidupan ekologis dan menyebabkan cepat terkurasnya sumber daya alam yang diperlukan untuk menghasilkan produk ekspor di berbagai negara. Tidak salah juga kalau hampir 205 perusahaan AS di bidang energi, dalam enam tahun ini ada di Indonesia, bahkan pemerintah AS menanamkan modal USD 1 Miliar. Melalui pembangunan industri, serta pembuangan emisi gas yang tak terkendali, akhirnya menyebabkan pemanasan global (Global Warming).

Permasalahan pemanasan global memberikan dampak masalah yang kompleks mulai dari ekonomi, lingkungan hidup, hingga mahluk hidup. Oleh sebab itu, ciri dari pemanasan global yaitu menuju punahnya spesies manusia. Di AS sudah ada gelombang panas yang menewaskan 200 an orang. Di China bagian tengah, Danau Donghu, Wuhan, Provinsi Hubei ribuan ikan seberat 30.000 kilogram mati karena polusi dan cuaca panas (Kompas, Jumat, 13/07).

Dari segi sosial, Indonesia akan banyak mengalami kerugian. Apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, intensitas maupun frekuensi bencana makin meningkat. Berdasarkan catatan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), tahun 2003-2005, tercatat 1.429 bencana di Tanah Air dan sekitar 53,3 persen di antaranya berkaitan dengan bencana iklim hidrologi, seperti banjir, longsor, kekeringan, dan angin topan. Sebagai contoh, bergesernya periode musim hujan dan kemarau mengakibatkan sumber daya air menjadi masalah dan terjadi defisit air di sejumlah daerah. Tidak hanya sektor pertanian dan penduduk yang terkena dampak langsung, tetapi juga sektor energi karena berkurangnya pasokan air untuk pembangkit listrik tenaga air. Selain berbagai dampak tersebut, pemanasan global juga akan berdampak pada sektor kehutanan, kelautan, keanekaragaman hayati serta dampak sosial-ekologis lainnya. Laju pemanasan global yang terlalu cepat akan mengancam kehidupan manusia karena manusia akan sulit beradaptasi. Melalui berbagai bencana yang ada, tentu akan mengakibatkan perubahan cara hidup masyarakat, meningkatnya kemiskinan dan pengangguran, berbagai masalah kesehatan, yang intinya adalah penurunan kualitas kehidupan.

Menurut saya, masalah Global warming ini harus ditangani secara internasional. Melalui perjanjian internasional yang ada, maupun akan ada dan kebijakan-kebijakan lainnya. Sedangkan untuk pertanian di Indonesia misalnya, dapat dilakukan pengamatan terhadap perubahan iklim, sehingga waktu dan jenis tanaman dapat disesuaikan. Jadi, diperlukan suatu kekuatan kerja sama untuk menyelesaikan dampak dari Global warming.

Senin, 24 September 2007

solusi pemanasan global


Andrew Wangsa
13007015
Solusi untuk pemanasan global

Akhir-akhir ini, kita sering membaca berita,menonton televisi ,atau mendengar radio tentang berita-berita yang berkaitan dengan kondisi Indonesia saat ini yang masuk “Guinness World Of Record” sebagai salah 1 penghabis hutan terbesar dan tercepat. Tentunya,hal ini tidak bisa kita banggakan bersama. Reputasi ini justru sebaiknya kita hindari,karena itu berarti kita turut terlibat dalam pemanasan global yang akhir-akhir ini menjadi isu internasional,karena berbahaya pada kelangsungan bumi kita ini.Oleh karena itu,kita harus bekerja sama untuk menjaga Bumi kita ini. Berikut,akan saya cantumkan beberapa solusi yang mungkin bisa membantu.

Mengurangi emisi buang secara signifikan.
Salah satu penyebab pemanasan global adalah efek rumah kaca,yang salah satu penyebabnya adalah gas-gas beracun sisa pembakaran kendaraan bermotor yang emisi buangnya belum terkontrol. Jadi sebaiknya kendaraan bermotor yang ada saat ini mengikuti uji emisi yang sering dilakukan beberapa pihak dan bagi pihak yang akan memiliki kendaraan bermotor, pilihlah kendaraan yang ramah lingkungan.

Mengurangi penggunaan energi secara berlebihan.
Di samping karena emisi gas buang. Ada fakta lain yang berhubungan dengan pemanasan global,yakni penggunaan energi yang berlebihan,entah itu dari konsumsi pabrik,atau dari yang lain. Karena salah 1 efek samping penggunaan energi adalah zat-zat sisa yang bisa mengakibatkan efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Maka ayo kita hemat penggunaan energi dan mari kita menggunakan sumber energi alternatif,seperti solar cell,yang tentunya akan dapat membantu mengurangi pembuangan zat-zat sisa hasil yang berbahaya.

Perluasan hutan
Hal ini jelas sangat penting untuk menanggulangi pemanasan global karena tumbuhan dapat melakukan sintesa untuk merubah zat-zat yang menimbulkan pemanasan global di sekeliling kita untuk jadi zat-zat yang tidak mempunyai efek negatif lagi. Tentunya selain itu,dengan banyaknya hutan,maka penyerapan air hujan akan lebih baik dan dapat menurunkan suhu di permukaan bumi.

Penggunaan teknologi yang maju.
Seperti kita ketahui,di beberapa negara maju,telah digunakan teknologi maju untuk mengurangi pemanasan global,yang bersifat ramah lingkungan dan juga bermanfaat dalam kehidupan manusia. Hal ini ditunjang oleh kesadaran masyarakat di negara tersebutyang memahami betapa pentingnya menjaga kondisi bumi ini. Jadi sebenarnya,perbaikan kondisi ini tentu tak lepas dari peran serta masyarakat dan juga kesadaran masyarakat itu sendiri.


Mungkin beberapa solusi di atas dapat membantu kita menanggulangi masalah pemanasan global yang terjadi di bumi kita ini. Semoga kita semua dapat belajar bersama dan dapat menjaga bumi kita bersama.

Selasa, 11 September 2007

Penanganan Pemanasan Global

Veronica
13007104 (TK)
Penanganan Pemanasan Global
Pemanasan global adalah peristiwa meningkatnya temperatur rata-rata secara bertahap di hampir seluruh dunia. Peningkatan suhu ini penyebab terbesarnya adalah gas-gas tertentu (uap air, karbondioksida, metana) yang menyebabkan efek rumah kaca. Sebenarnya efek rumah kaca ini pada dasarnya, sangat menguntungkan bumi, karena bila hal tersebut tidak ada, hampir dapat dipastikan kehidupan tidak dapat berkembang di bumi ini. Namun, karena berbagai aktivitas manusia yang kurang memperhatikan alam, konsentrasi gas-gas ini meningkat sehingga menyebabkan bumi menjadi terlalu hangat. Oleh karena itu untuk meminimaliskan masalah pemanasan global, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah mengendalikan jumlah gas-gas rumah kaca.
Untuk mengendalikan jumlah gas rumah kaca yang ada dapat dilakukan berbagai cara. Pertama, dapat dilakukan penghijauan/menanam pepohonan. Penghijauan ini bertujuan untuk menghilangkan karbondioksida (CO2) yang merupakan salah satu komponen utama dari gas rumah kaca. Pohon, terutama yang masih muda menyerap CO2 sangat banyak dalam proses fotosintesis dan mengubahnya sebagai senyawa karbon yang lain. Penghijauan dapat dilakukan dengan penghutanan kembali dan penanaman pohin di kota dan daerah. Apabila hal tersebut tidak cukup, pemerintah sebaiknya mewajibkan rakyatnya terutama yang mampu untuk menanam setidaknya satu pohon per orang.
Selain melakukan penghijauan sebaiknya dilakukan juga pengurangan penggunaan bahan bakar fossil, karena salah satu penyumbang gas CO2 adalah pembakaran bahan bakar fossil. Hal ini bisa dilakukan dengan mencari dan menggunakan sumber energi alternatif yang tidak melepaskan gas rumah kaca seperti penggunaan tenaga angin atau tenaga surya. Di samping penggunaan energi alternatif, penggunaan trnasportasi umum akan sangat menurunkan penggunaan bahan bakar fossil dibandingkan dengan penggunaan kendaraan pribadi.
Hal lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi jumlah gas rumah kaca adalah dengan mengubahnya menjadi senyawa lain. Metana (CH4) adalah gas rumah kaca yang lebih hebat dari (CO2) dan juga salaha satu gas yang tajam peningkatannya. Pengurangan jumlah dari gas tersebut tentu akan mengurangi efek rumah kaca bila tidak ada hal lain yang mempengaruhi. Metana yang ada di udara bila dapat ditangkap dapat digunakan sebagai salah satu bahan dalam industri polimer. Beberapa senyawa yang dapat dihasilkan oleh (CH4) adalah methanol, formaldehid, etana, propane, dll.

Jumat, 07 September 2007

Bagaimana Mengatasi Global Warming?

Ade Rahma Dyah Hartanti
13007005 (TK)

Bagaimana Mengatasi Global Warming?

Global warming saat ini memang menjadi topik hangat di antara para ilmuwan bahkan pembicaraan antarnegara. Dari hasil pemikiran saya dan juga dari sumber-sumber informasi yang tersedia, saya dapat menyimpulkan beberapa cara untuk mengatasi peningkatan global warming.1.Penghijauan bumiCara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.2.Menginjeksikan gas ke sumur minyakGas karbondioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan. Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer.3.Mengganti bahan bakar fosil dengan energi gas atau nuklirSalah satu sumber penyumbang karbondioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbondioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbondioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbondioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbondioksida sama sekali.4.Mengurangi penggunaan Freon (CFC)Freon (Chlorofluorcarbon) adalah senyawa yang digunakan dalam lemari pendingin, pendingin ruangan, sprayer, dan lain-lain. Senyawa ini bersifat sangat reaktif terhadap O3 (ozon). Senyawa ini cenderung memisahkan ikatan ozon menjadi ion sehingga peningkatan CFC akan mengakibatkan semakin tipisnya lapisan ozon, bahkan bisa menyebabkan lapisan ozon berlubang-lubang di beberapa tempat. Rusaknya lapisan ozon menyebabkan sinar UV matahari yang sangat berbahaya bagi makhluk hidup, akan lolos dan mengenai permukaan bumi.Jadi, tiap-tiap negara sangat dihimbau untuk melakukan usaha-usaha untuk meminimalisir global warming dengan partisipasi seluruh rakyat.

PENGENDALIAN PEMANASAN GLOBAL

ISTIQAMAH HAFID
13007023
Referensi : http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global

Pengendalian pemanasan global
Konsumsi total
bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.
Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.

[sunting] Menghilangkan karbon
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam
pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbondioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat
Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbondioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbondioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak
revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbondioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbondioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbondioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbondioksida sama sekali.

[sunting] Persetujuan internasional
Artikel utama:
Protokol Kyoto
Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya,
Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001,
Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbondioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbondioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di
Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbondioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh,
Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbondioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.