Senin, 01 Oktober 2007

Indonesia dan COP Ke - 13 UNFCCC

Albertus Daniel Tanzil
13007037


Negara kita akan menjadi tuan rumah dari Conference of Parties ke-13 United Nations Framework Convention on Climate Change (COP ke-13 UNFCCC), 3-14 Desember di Denpasar, Bali. Isu utama dari pertemuan ini adalah mengenai kerusakan hutan yang tinggi sebagai salah satu penyebab utama dari global warming yang selama ini dikhawatirkan dunia internasional.
Pertanyaan utama adalah apa yang dapat dilakukan dan tepatnya dimanfaatkan oleh Indonesia sebagai tuan rumah dari pertemuan ini? Mendapat kehormatan sebagai tuan rumah dapat berarti banyak. Dalam hal ini, secara eksplisit dapat disimpulkan bahwa isu kerusakan hutan memang terjadi dan berpusat di Indonesia jika dilihat dari skala kerusakannya. Data dari kompas 24 September 2007 menuliskan laju kerusakan hutan Indonesia adalah 1,19 juta ha per tahun yang setara dengan 250 lapangan bola per jam. Dan yang lebih memprihatinkan, jika kita melihat luas tutupan hutan dari 50 tahun terakhir, hutan Indonesia sudah berkurang hingga kurang dari 40%. Melihat data-data yang mengejutakan ini, pantaslah jika pertemuan ini diadakan di Indonesia.
Yang kita harapkan dari pertemuan ini adalah sebuah kesepakatan internasional dari negara-negara di dunia, tentang solusi dari global warming yang dalam pertemuan ini memfokuskan ke salah satu penyebabnya, yaitu kerusakan hutan. Dan Indonesia yang dapat disebut sebagai pelaku dan juga korban dari industri pembalakan hutan, harus berperan ekstra. Kita harus mempresentasikan data-data yang transparan dan nyata dan juga solusi yang kita tawarkan. Dari situ kita dapat meminta masukan dari negara lain yang notabene maju untuk memberikan brainstorming menurut pendapat mereka.
Pada akhirnya yang kita harapkan dari pertemuan ini adalah sebuah kerjasama internasional di mana semua negara tidak hanya memikirkan keuntungan sendiri tapi ikut bahu-membahu menyelesaikan masalah ancaman global warming. Karena bagaimanpun juga efek dari global warming sendiri seperti perubahan iklim, kenaikan suhu, kenaikan permukaan air laut, banjir besar dan angin panas dirasakan di tempat berbeda di seluruh dunia.
Manfaat dari pertemuan ini bagi Indonesia adalah, kita bisa meminta sumbangan dari negara maju yang notabene merupakan bentuk pertanggungjawaban mereka sebagai penyumbang emisi CO2 yang melebihi ambang batas. Ditargetkan dana yang diperoleh melalui pola CDM (Clean Development Mechanism) oleh Indonesia sebesar 370 juta dollar AS untuk tahun 2007. Tentunya kita juga harus memanfaatkan dana ini sepenuhnya untuk rebolisasi hutan dan sosialisasi kepada masyarakat untuk menjaga lingkungan. Dan tentunya untuk daerah perkotaan juga harus dipatuhi standar lahan hijau kota sebesar 20%. Menurut opini penulis, Indonesia mesti meminta pertukaran teknologi dengan negara maju seperti Jepang yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan.
Peran serta dari NGO (Non Govermental Organization) yang bergerak di bidang lingkungan seperti greenpeace harus dilibatkan. Karena diharapkan mereka dapat memberikan hasil penelitian yang objektif atas dasar ketidakterikatan mereka dengan kepentingan negara tertentu.
Pada akhinya COP ke-13 UNFCCC harus menjadi titik balik bagi Indonesia dan dunia dalam berperang melawan global warming. Semoga dengan pertemuan ini dapat dihasilkan sebuah protocol Bali yang diratifikasi oleh seluruh negara di dunia terutama negara industri seperti Amerika Serikat.

Tidak ada komentar: