Senin, 01 Oktober 2007

solusi penanganan global warming

Nama : Neysa Khumaira
NIM : 13007036

Belakangan ini banyak terdengar berita tentang kerusakan hutan yang terus menerus meningkat. Rusaknya hutan ini diklaim sebagai penyebab utama dari pemanasan global. Berita yang menyebar adalah tentang kebakaran hutan yang menyebabkan tingginya suhu udara dan melelehkan es di Greenland dan Antartika sehingga berdampak pada naiknya muka permukaan air laut.
Untuk membahas masalah dampak dan solusi yang harus dilakukan dalam mengatasi pemanasan Global,akan diadakan Conference of Parties (COP) ke-13United nations Framework Convention on Climate Change pada tanggal 3-14 Desember di Denpasar,Bali. Hal-hal yang perlu dibahas dalam konferensi tersebut adalah penanganan dari penyimpangan dan dampak yang harus diminimalisir sebaik mungkin. Salah satu bentuk penyimpangan dalam kasus ini adalah kemampuan serapan alami hutan terhadap kandungan karbon di udara yang tidak ditonjolkan. Bahkan ada beberapa peran dari hutan yang seakan disembunyikan oleh Negara maju. Justru hal yang ditonjolkan adalah tuduhan kepada Negara berkembang,salah satunya Indonesia karena dianggap lalai menjaga kelestarian hutannya. Seharusnya,sebelum membahas tentang Negara lain,hal utama yang harus dilakukan adalah interospeksi pada negara masing-masing. Contohnya adalah tentang masalah kerusakan hutan dunia,Negara maju di Eropa dan AS sebagai pengemisi karbon terbesar dunia justru telah lama kehilangan hutannya untuk lahan industri. Tapi kenyataannya mata dunia hanya tertuju pada Negara berkembang yang dijadikan tumpuan untuk menyerap karbon buangan dari industri Negara maju tersebut. Kerusakan hutan di Negara berkembang,dipaksa ikut mempertanggungjawabkan meningkatnya pemanasan global.

Solusi lain yang harus diterapkan adalah pengkontrolan secara rutin terhadap perencanaan yang telah dibuat untuk mengantisipasi pemanasan Global. Dalam hal ini,perencanaan yang telah dibuat oleh perhutani hijau 2010 oleh perum Perhutani. Harus dipastikan perencanaan tersebut dapat terealisasikan dengan baik. Hal lain yang patut dilakukan adalah merealisasikan potensi yang dimiliki Indonesia saat ini. Contohnya adalah sebagai Negara ke 5 terbesar yang berpotensi melakukan 10% suplai carbon credit dunia diperkirakan memiliki potensi Clean development mechanism (CDM). Caranya yaitu dengan melakukan penghijauan dan reboisasi seluas 32,5 juta hektar,Indonesia akan mampu menyerap 5,5 gigaton CO2. Selain melalui CDM,cara pencegahan dan pengurangan emisi karbon dunia adalah melalui kegiatan Joint Implementation (JI) dan Emission trading (ET) yang diasumsikan dapat menarik aliran dana Negara industri untuk berpartisipasi. Kenyataan yang ada sekarang Negara-negara industri seperti AS,Australia,Turki dan Monako masih belum mau menyumbangkan “sedikit uang”nya untuk membantu penyelamatan hutan dunia.

Dapat disimpulkan,cara yang paling baik untuk penanganan pemanasan global ini adalah adanya kolaborasi yang seharusnya diwujudkan dalam COP ke 13 ini. Maksud dari kolaborasi ini adalah sah bila Indonesia dan Negara berkembang lain juga menuntut Negara maju untuk mengendurkan fokus tekanannya yang selama ini dilakukan dalam kegiatan eksploitasi hutan. Dan selayaknya Negara maju lebih memahami dirinya sebagai penyebab utama rusaknya iklim dunia dan meningkatkan bantuannya bagi pengembangan penghijauan hutan dan lahan. Kerusakan hutan jangan semakin dibebani dengan meningkatnya hasil perdagangan ekspor hasil hutan yang akan berakibat semakin menurunnya ekonomi Negara berkembang sehingga semakin sulit untuk memperbaiki hutannya.

Tidak ada komentar: