Senin, 01 Oktober 2007

Pengambilan Kebijakan dalam Mengatasi Pemanasan Global

Rizal 13007078


Akhir-akhir ini, isu pemanasan global menjadi topik yang banyak dibicarakan orang. Apalagi menjelang diadakannya pertemuan akbar negara-negara di dunia yang akan membahas topik tersebut, yaitu Conference of Parties (COP) ke-13 United Nations Framework Convention on Climate Change yang akan diadakan pada 3-14 Desember 2007 di Denpasar, Bali. Dan akhir-akhir ini, berita kerusakan hutan sebagai pemicu utama kerusakan global sangat santer dibicarakan. Selalu dibicarakan mengenai kebakaran hutan dan gambut, yang terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia, ikut berperan menaikkan tinggi muka laut akibat naiknya suhu udara dan melelehnya es di Greenwich dan Antartika. Padahal perlu dicermati, penyebab utama pemanasan global adalah pemendaman gas rumah kaca yang diakibatkan oleh emisi karbon dan penyebab kejenuhan emisi karbon ada 4. Yaitu kelistrikan yang berkontribusi 42%, transportasi yang berpengaruh 24%, industri dengan 20%, dan sebanyak 14% dari kependudukan serta penggunaan barang komersial. Yang menarik untuk diamati adalah emisi yang ditimbulkan oleh hutan yang terbakar tidak disebutkan di sana, karena memang emisi yang dihasilkan tidak cukup banyak jika dikumulasikan karena kejadian itu hanya berlangsung dalam kondisi tertentu, waktu tertentu, dan wilayah tertentu. Sedangkan keempat faktor utama di atas berlangsung kontinu di hampir seluruh tempat di dunia.

Nah, masalah yang seharusnya dibahas adalah bagaimana mendukung dan memberi bantuan kepada negara berkembang (oleh negara maju) untuk mencegah kebakaran dan kegundulan hutan di negaranya, selain melakukan reduksi emisi gas rumah kaca (GRK) masing-masing negara di muka bumi. Karena sebenarnya, hutan memegang peranan yang paling penting dalam mereduksi emisi gas karbon yang dihasilkan oleh negara maju. Perlu dicatat, bahwa negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat menyumbang 24% dari emisi global, diikuti China dengan 14%, Rusia 6%, diikuti Jepang serta India. Tentu kita masih ingat dalam pertemuan negara-negara maju (G8) tahun ini yang diadakan di Jerman dan membahas isu emisi gas karbon, negara anggota G8 menyerukan kepada para anggotanya untuk mengurangi emisi karbon hingga 50% dalam 10 tahun ke depan. Namun AS sebagai negara adikuasa adalah satu-satunya negara yang menolak. Berbagai alasan dilontarkannya, namun tetap ditentang negara G8 lainnya. Perundingan berjalan sangat alot, dan akhirnya AS bersedia untuk “mempertimbangkannya”. Ini adalah salah satu contoh di mana AS sebagai negara adikuasa sangat egois dalam menetapkan kebijakan dan selalu menyalahkan negara lain dalam setiap masalah, seperti dalam kasus nuklir Iran. Sekarang yang dapat dilakukan adalah mengurangi emisi tersebut, salah satunya dengan mereboisasi hutan. Permasalahannya, sebagian besar hutan di dunia kini dinilai telah rusak. Meskipun negara maju seperti Eropa dan AS sebagai pengemisi karbon terbesar di dunia bahkan telah lama kehilangan hutannya, mata dunia hanya tertuju pada kerusakan hutan yang dialami oleh negara berkembang yang dijadikan tumpuan dalam menyerap emisi karbon. Untuk mengatasinya telah dilahirkan Protokol Kyoto tahun 1997 yang menetapkan 6 emisi gas rumah kaca (GRK) dan menyepakati bahwa negara maju yang termasuk dalam daftar lampiran 1 dan lampiran B berkewajiban mengurangi emisi GRK sampai angka tertentu sampai 2012 serta membiayai negara kehutanan untuk melaksanakan proyek yang akan menurunkan GRK (deforestasi) melalui pola clean development mechanism (CDM).

Indonesia sendiri adalah negara kelima terbesar yang berpotensi melakukan 10% suplai carbon credit dunia diperkirakan memiliki potensi CDM di sektor energi sebesar 25 juta ton CO2 dengan harga 1,83 US$ per ton (Kompas, 25/10). Dan dari reboisasi seluas 32,5 juta hektar, Indonesia dapat menyerap 5,5 gigaton CO2 dan konon Indonesia dapat menyerap sekurangnya 500 juta US$ dari kegiatan proyek CDM tersebut. Selain CDM, mekanisme lain yang dapat diberikan adalah melalui joint implementation (JI) dan emission trading (ET) yang dapat digunakan untuk menarik dana sumbangan dari negara industri maju. Namun sayangnya sampai saat ini hal tersebut belum terealisasi. Namun setidaknya dalam pertemuan APEC kemarin, AS dan Australia tegerak untuk menggelontorkan dana dalam proyek ini.

Dalam COP Ke-13 UNFCCC di Bali nanti diharapkan dibahas perlunya kolaborasi antara negara industri maju (negara penghasil emisi terbesar dunia) dengan negara berkembang (yang berpotensi mengurangi emisi GRK dengan reboisasinya) dalam mengatasi masalah pemanasan global dan masing-masing negara menepikan egoismenya masing-masing dan memfokuskan kepada usaha bersama dalam mengatasinya.

Tidak ada komentar: