Sabtu, 06 Oktober 2007

Keputusan yang Diharapkan Pada Pertemuan COP Ke-13 UNFCCC di Denpasar, Bali.

Tahrizi Andana
13007045


Tahun ini, dunia dihebohkan dengan keberadaan isu Climate Change. Isu inilah yang menjadi pusat perhatian dunia khususnya menjadi fokus utama PBB. Isu Climate Change atau “perubahan iklim” saat ini berkaitan erat dengan peristiwa yang sangat fenomenal di tahun ini pula, yakni Global Warming atau pemanasan global. Pemanasan global banyak mengundang reaksi dari berbagai pihak. Ada yang mengklaim bahwa pemanasan global disebabkan karena tingkat kerusakan hutan yang meningkat. Banyak berita – berita beredar kebakaran hutan dan gambut yang ikut meningkatkan tinggi muka air laut akibat naiknya suhu udara serta melelehnya es di Greenland dan Antarktika. Padahal hutan sejatinya memiliki peran yang sangat penting dalam menyerap secara alami dan menetralkan gas – gas rumah kaca. Peran hutan yang cukup besar inilah yang terkadang diabaikan oleh negara – negara industri maju. Sekarang yang ada hanyalah sikap atau pandangan negatif dari negara – negara maju terhadap negara – negara berkembang, khususnya Indonesia. Mereka menanggap bahwa Indonesia telah mengabaikan kelestarian hutannya. Sebenarnya bila dicermati, penyebab pemanasan global itu terjadi karena peningkatan konsentrasi emisi gas rumah kaca, khususnya karbon. Penyumbang terbesar peningkatan konsentrasi emisi gas karbon itu ternyata ada empat. Pertama, kelistrikan yang menyumbang 42 persen; kedua, sektor transportasi menyumbang 24 persen; ketiga, sektor industri menyumbang 20 persen; dan sisanya, kependudukan serta penggunaan barang-barang komersial yang menyumbang 14 persen bagi emisi global. Hutan - hutan yang terbakar sekalipun bukan penyebab utama dari peningkatan konsentrasi emisi karbon. Hal ini semata bukanlah salah dari negara berkembang seperti Indonesia. Negara – negara maju, khususnya Amerika Serikat, China, Rusia, dan negara industri raksasa Jepang serta India merupakan penyumbang terbesar penyebab pemanasan global

Protokol Kyoto yang dilahirkan tahun 1997 menyepakati adanya enam senyawa GRK telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004. Negara ekonomi maju yang masuk dalam daftar lampiran 1 dan lampiran B, menurut Konvensi Perubahan Iklim tahun 1990, berkewajiban mengurangi emisi GRK sampai angka tertentu sampai tahun 2012 serta membantu negara kehutanan di luar lampiran itu untuk membiayai/melaksanakan proyek yang akan menurunkan efek GRK. Negara maju penghasil emisi karbon terbesar berkewajiban memberikan kompensasi atas upaya penyelamatan hutan di negara berkembang dengan mekanisme pola clean development mechanism (CDM). Indonesia sendiri sebagai negara kelima terbesar yang berpotensi melakukan 10 persen suplai carbon credit dunia diperkirakan memiliki potensi CDM di sektor energi sebesar 25 juta ton CO2 dengan harga 1,83 USD per ton. Adapun dari kegiatan penghijauan dan reboisasi seluas 32,5 juta hektar, Indonesia akan mampu menyerap 5,5 gigaton CO2 dan paling tidak separuhnya memenuhi syarat dijadikan proyek CDM. Sayangnya, sampai dengan Maret 2005 negara industri besar Amerika Serikat bahkan belum berkehendak meratifikasi Protokol Kyoto, diikuti Australia, Turki, dan Monako. Maka meskipun masih sulit berharap, paling tidak dalam pertemuan APEC baru-baru ini Amerika Serikat dan Australia telah tergerak menyumbangkan "uang kecilnya" untuk membantu penyelamatan hutan Indonesia.
Kesadaran dunia akan perlunya kolaborasi menghadapi peningkatan emisi karbon akan diwujudkan dalam 13th Conference of Parties United Nations Framework Convention on Climate Change (COP Ke-13 UNFCCC) tanggal 3-14 Desember 2007 di Denpasar, Bali. Namun sebelumnya sebagai persiapan dan meloby negara-negara lain untuk mendukung acara di Bali, maka Presiden Republik Indonesia, DR. Susilo Bambang Yudhoyono, memutuskan untuk menghadiri High Level Event (HLE) on Climate Change dengan tema “The Future in Our Hands: Addressing the Leadership Challenge of Climate Change” yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 24 September 2007. HLE bertujuan menggalang dukungan politis bagi pertemuan COP ke-13 UNFCCC dan 3rd MOP Kyoto Protocol. HLE akan membahas empat tema paralel yaitu isu Adation, Mitigation, Technology dan Financing. Diharapkan pertemuan COP ke-13 UNFCCC di Denpasar, Bali bulan Desember mendatang mampu memutuskan untuk mengambil kebijakan kepada negara – negara maju untuk bersama – sama meratifikasi kembali Kyoto Protocol agar persoalan pemanasan global yang selama ini terjadi dapat dikurangi. Toh, dengan meratifikasi undang – undang tersebut tidak ada kerugian sama sekali yang timbul. Negara maju tidak menderita kerugian besar hingga bermilyar – milyar untuk menangani masalah ini, negara berkembang juga tidak lagi dijadikan objek untuk disalahkan, dan dunia kembali terselamatkan dalam waktu dekat. Benar bukan?

Tidak ada komentar: